KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

Mei 05, 2014

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (disingkat Babel) adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil seperti P. Lepar, P. Pongok, P. Mendanau dan P. Selat Nasik, total pulau yang telah bernama berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung terletak di bagian timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan. Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memiliki pantai yang indah dan kerukunan antar etnis. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkalpinang. Pemerintahan provinsi ini disahkan pada tanggal 9 Februari 2001. Setelah dilantiknya Pj. Gubernur yakni H. Amur Muchasim, SH (mantan Sekjen Depdagri) yang menandai dimulainya aktivitas roda pemerintahan provinsi.

Selat Bangka memisahkan Pulau Sumatera dan Pulau Bangka, sedangkan Selat Gaspar memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Di bagian utara provinsi ini terdapat Laut Cina Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau Kalimantan di bagian timur yang dipisahkan dari Pulau Belitung oleh Selat Karimata.

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebelumnya adalah bagian dari Sumatera Selatan, namun menjadi provinsi sendiri bersamaBanten dan Gorontalo pada tahun 2000. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tanggal 21 November 2000 yang terdiri dari Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kota Pangkalpinang. Pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tanggal 23 Januari 2003 dilakukan pemekaran wilayah dengan penambahan 4 kabupaten yaitu Bangka Barat, Bangka Tengah,Bangka Selatan dan Belitung Timur. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan pemekaran wilayah dari Provinsi Sumatera Selatan.


Sosial Budaya
Penduduk Pulau Bangka dan Pulau Belitung yang semula dihuni orang-orang suku laut, dalam perjalanan sejarah yang panjang membentuk proses kulturisasi dan akulturasi. Orang-orang laut itu sendiri berasal dari berbagai pulau. Orang laut dari Belitung berlayar dan menghuni pantai-pantai di Malaka. Sementara mereka yang sudah berasimilasi menyebar ke seluruh Tanah Semenanjung dan pulau-pulau di Riau. Kemudian kembali dan menempati lagi Pulau Bangka dan Belitung. Sedangkan mereka yang tinggal di Riau Kepulauan berlayar ke Bangka. Datang juga kelompok-kelompok Orang Laut dari Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Pada gelombang berikutnya, ketika mulai dikenal adanya Suku Bugis, mereka datang dan menetap di Bangka, Belitung dan Riau. Lalu datang pula orang dari Johor, Siantan yang Melayu, campuran Melayu-Cina, dan juga asli Cina, berbaur dalam proses akulturasi dan kulturisasi. Kemudian datang pula orang-orang Minangkabau, Jawa, Banjar, Kepulauan Bawean, Aceh dan beberapa suku lain yang sudah lebih dulu melebur. Lalu jadilah suatu generasi baru: Orang Melayu Bangka Belitung.

Bahasa yang paling dominan digunakan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah Bahasa Melayu yang juga disebut sebagai bahasa daerah, namun seiring dengan keanekaragaman suku bangsa, bahasa lain yang digunakan antara lain bahasa Mandarin dan bahasa Jawa.

Penduduk Kepulauan Bangka Belitung merupakan masyarakat yang beragama dan menjunjung tinggi kerukunan beragama. Ditinjau dari agama yang dianut terlihat bahwa penduduk provinsi ini memeluk agama Islam dengan presentase sebesar 86.91 persen, untuk penduduk yang menganut agama Budha sebesar 7.83 persen, agama Kristen Protestan sebesar 2.70 persen, agama Katholik sebesar 2.45 persen dan lainnya atau 0.11 menganut agama Hindu. Tempat peribadatan agama di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ada sebanyak 718 mesjid, 438 mushola, 102 langgar, 87 gereja protestan, 30 gereja katholik, 48 vihara dan 11 centiya.


Budaya dan Seni
Rumah adat 

Rumah Panggung
Secara umum arsitektur di Kepulauan Bangka Belitung berciri Arsitektur Melayu seperti yang ditemukan di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatera dan Malaka.
Di daerah ini dikenal ada tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubung Panjang dan Melayu Bubung Limas. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung kayu dengan material seperti kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang tumbuh dan mudah diperoleh di sekitar pemukiman.
Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki beranda di muka, serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal terdiri atas rumah ibu dan rumah dapur yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam dalam tanah.
Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang. Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan didirikan pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang biasanya karena ada penambahan bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas karena pengaruh dari Palembang. Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini terpancung. Selain pengaruh arsitektur Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-Melayu seperti terlihat dari bentuk Rumah Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga keturunan Tionghoa. Pengaruh non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama tampak pada tangga batu dengan bentuk lengkung.

Rumah Limas
Kabupaten Bangka sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Propinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki berbagai macam potensi yang cukup menarik baik alam maupun seni budayanya. Salah satu potensi yang menarik perhatian dan menjadi ciri bangka belitung adalah bentuk rumah asli dengan atap berbentuk limas dan bertangga sehingga disebut rumah panggung limas. tidak hanya bagi daerah dengan semboyan sepintu sedulang ini namun juga bagi propinsi kepulauan bangkabelitun

Secara umum arsitektur di Kepulauan Bangka Belitung berciri Arsitektur Melayu seperti yang ditemukan di daerah-daerah sepanjang pesisir Sumatera dan Malaka. Di daerah ini dikenal ada tiga tipe yaitu Arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubung Panjang dan Melayu Bubung Limas. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung kayu dengan material seperti kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang tumbuh dan mudah diperoleh di sekitar pemukiman.

Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki beranda di muka, serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal terdiri atas rumah ibu dan rumah dapur, yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam dalam tanah.

Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang. Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan didirikan pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang biasanya karena ada penambahan bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas karena pengaruh dari Palembang. Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini terpancung. Selain pengaruh arsitektur Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-Melayu seperti terlihat dari bentuk Rumah Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga keturunan Tionghoa. Pengaruh non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama tampak pada tangga batu dengan bentuk lengkung.

Rumah Rakit
Rumah adat Bangka Belitung ini sangat unik karena rumah adat ini dibuat diatas sungai. Umumnya rumah-rumah adat di Provinsi Bangka Belitung tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah adat di Provinsi Sumatera Selatan, seperti Rumah Limas, dan Rumah Panggung.





Atraksi/Event Budaya

Perang Ketupat
Pagi harinya, seusai tari serimbang digelar, dukun darat dan dukun laut bersatu merapal mantra di depan wadah yang berisi 40 ketupat. Mereka juga berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar perayaan tersebut dilindungi, jauh dari bencana.
Di tengah membaca mantra, dukun darat tiba-tiba tak sadarkan diri (trance) dan terjatuh. Dukun laut menolongnya dengan membaca beberapa mantra, dan akhirnya dukun darat pun sadar dalam hitungan detik.
Menurut beberapa orang tua di tempat tersebut, ketika itu dukun darat sedang berhubungan dengan arwah para leluhur. Kenyataannya, setelah siuman, dukun darat menyampaikan beberapa hal yang tidak boleh dilakukan (pantangan) warga selama tiga hari, antara lain melaut, bertengkar, menjuntai kaki dari sampan ke laut, menjemur pakaian di pagar, dan mencuci kelambu serta cincin di sungai atau laut.
Setelah semua ritual doa selesai, kedua dukun itu langsung menata ketupat di atas sehelai tikar pandan. Sepuluh ketupat menghadap ke sisi darat dan sepuluh lainnya ke sisi laut. Kemudian, 20 pemuda yang menjadi peserta perang ketupat juga berhadapan dalam dua kelompok, menghadap ke laut dan ke darat.
Dukun darat memberi contoh dengan melemparkan ketupat ke punggung dukun laut dan kemudian dibalas, tetapi ketupat tidak boleh dilemparkan ke arah kepala. Kemudian, dengan aba-aba peluit dari dukun laut, perang ketupat pun dimulai.

Ke-20 pemuda langsung menghambur ke tengah dan saling melemparkan ketupat ke arah lawan mereka. Semua bersemangat melemparkan ketupat sekeras-kerasnya dan berebut ketupat yang jatuh. Keadaan kacau sampai dukun laut meniup peluitnya tanda usai perang dan mereka pun berjabat tangan.
Selanjutnya, perang babak kedua dimulai. Prosesnya sama dengan yang pertama, tetapi pesertanya diganti. Perang kali ini pun tidak kalah serunya karena semua peserta melempar ketupat dengan penuh emosi. Rangkaian upacara itu ditutup dengan upacara Nganyot Perae atau menghanyutkan perahu mainan dari kayu ke laut. Upacara itu dimaksudkan mengantar para makhluk halus pulang agar tidak mengganggu masyarakat Tempilang.


Buang Jong
Buang Jong merupakan salah satu upacara tradisional yang secara turun-temurun dilakukan oleh masyarakat suku Sawang di Pulau Belitung. Suku Sawang adalah suku pelaut yang dulunya, selama ratusan tahun, menetap di lautan. Baru pada tahun 1985 suku Sawang menetap di daratan, dan hanya melaut jika ingin mencari hasil laut. Buang Jong dapat berarti membuang atau melepaskan perahu kecil (Jong) yang di dalamnya berisi sesajian dan ancak (replika kerangka rumah-rumahan yang melambangkan tempat tinggal). Tradisi Buang Jong biasanya dilakukan menjelang angin musim barat berhembus, yakni antara bulan Agustus-November. Pada bulan-bulan tersebut, angin dan ombak laut sangat ganas dan mengerikan. Gejala alam ini seakan mengingatkan masyarakat suku Sawang bahwa sudah waktunya untuk mengadakan persembahan kepada penguasa laut melalui upacara Buang Jong. Upacara ini sendiri bertujuan untuk memohon perlindungan agar terhindar dari bencana yang mungkin dapat menimpa mereka selama mengarungi lautan untuk menangkap ikan. Keseluruhan proses ritual Buang Jong dapat memakan waktu hingga dua hari dua malam. Upacara ini sendiri diakhiri dengan melarung miniatur kapal bersama berbagai macam sesaji ke laut. Pascapelarungan, masyarakat suku Sawang dilarang untuk mengarungi lautan hingga tiga hari ke depan.
Buang Jong dimulai dengan menggelar Berasik, yakni prosesi menghubungi atau mengundang mahkluk halus melalui pembacaan doa, yang dipimpin oleh pemuka adat suku Sawang. Pada saat prosesi Berasikberlangsung, akan tampak gejala perubahan alam, seperti angin yang bertiup kencang ataupun gelombang laut yang tiba-tiba begitu deras.
Usai ritual Berasik, upacara Buang Jong dilanjutkan dengan Tarian Ancak yang dilakukan di hutan. Pada tarian ini, seorang pemuda akan menggoyang-goyangkan replika kerangka rumah yang telah dihiasi dengan daun kelapa, ke empat arah mata angin. Tarian yang diiringi dengan suara gendang berpadu gong ini, dimaksudkan untuk mengundang para roh halus, terutama roh para penguasa lautan, untuk ikut bergabung dalam ritual Buang Jong. Tarian Ancak berakhir ketika si penari kesurupan dan memanjat tiang tinggi yang disebut jitun. Selain Tarian Ancak, Tari Sambang Tali juga dijadikan salah satu rangkaian acara dalam upacara Buang Jong. Tarian yang dimainkan oleh sekelompok pria ini, diambil dari nama burung yang biasa menunjukkan lokasi tempat banyaknya ikan buruan bagi para nelayan di laut. Ketika nelayan hilang arah, burung ini pula yang menunjukkan jalan pulang menuju daratan.Upacara Buang Jong kemudian dilanjutkan dengan ritual Numbak Duyung, yakni mengikatkan tali pada sebuah pangkal tombak, seraya dibacakan mantra. Mata tombak yang sudah dimantrai ini sangat tajam, hingga konon dapat digunakan untuk membunuh ikan duyung. Karena itu pula ritual ini disebut dengan Numbak Duyung. Ritual kemudian dilanjutkan dengan memancing ikan di laut. Konon, jika ikan yang didapat banyak, maka orang yang mendapat ikan tersebut tidak diperbolehkan untuk mencuci tangan di laut.Setelah itu, Buang Jong dilanjutkan dengan acara jual-beli jong. Pada acara ini, orang darat (penduduk sekitar perkampungan suku Sawang) turut dilibatkan. Karena, jual beli di sini tidak dilakukan dengan menggunakan uang, namun lebih kepada pertukaran barang antara orang darat dengan orang laut. Pada acara ini, dapat terlihat bagaimana orang darat dan orang laut saling mendukung dan menjalin kerukunan. Dengan perantara dukun, orang darat meminta agar orang laut mendapat banyak rejeki, sementara orang laut meminta agar tidak dimusuhi saat berada di darat. Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Beluncong, yakni menyanyikan lagu-lagu khas suku Sawang dengan bantuan alat musik sederhana. Usai Beluncong, acara disambung dengan Nyalui, yaitu mengenang arwah orang-orang yang sudah meninggal melalui nyanyian.

Mandi Belimau
Mandi Belimau adalah salah satu adat istiadat di Pulau Bangka Belitung yang diadakan menjelang Bulan Ramadhan. Pelaksaan Mandi Belimau ini bertujuan untuk membersihkan diri menjelang Bulan Ramadhan. Upacara diawali dengan kegiatanNapak Tilas yaitu melakukan ziarah dan tabur bunga di makam Depati Bunter, Desa Kimak yang ditempuh dengan menggunakan perahu motor untuk menyeberang sungai. Setelah melakukan ziarah semua orang yang ikut kegiatan ini pulang kembali dan menuju Dusun Limbung Desa Jada Bahrin untuk melakukan ritual Mandi Belimau tersebut.
Ritual Adat Mandi Belimau dimulai dengan Pengutaraan niat yang disertai doa yang dipimpin oleh Haji Ilyasak keturunan kelima dari Depati Bahrin yang sekarang adalah sebagai Pemuka Adat Kecamatan Merawang. Dalam Upacara ini Haji Ilsyak sebagai pemimpin menggunakan Kain Putih,sementara lima Pemuka Adat lainnya yang membantu menggunakan kain berwarna Hijau, Merah, Kuning, Hitam, dan Kelabu. Selanjutnya pelaksanaan mandinya dilakukan di depan Sungai Limbung, yang dimulai dengan membasahi telapak tangan dari kanan dan kiri, kemudian kaki kanan dan kiri yang diteruskan membasahi ubun-ubun dan seluruh anggota tubuh dengan siraman air yang dicampur dengan jeruk limau yang disimpan dalam gentong air.
Masyarakat yang ingin dimandikan sebelumnya dianjurkan terlebih dahulu berdoa apa saja untuk kebaikan mereka. Selain itu banyak masyarakat yang juga membawa pulang air yang digunakan pada ritual Mandi Belimau ini karena mereka meyakini bahwa air ini mempunyai khasiat tertentu.
Ritual adat Mandi Belimau ini adalah simbol-simbol tradisi yang baik untuk perenungan dan pensucian diri baik lahir maupun batin. Diharapkan simbol-simbol Mandi Belimau ini dapat membekas bagi masyarakat untuk kehidupan selanjutnya dan bukan hanya prosesi saja.

Ruwah
Ruwah merupakan arti dari kata ” arwah ” masyarakat bangka menyebutnya dengan bahasa lokal sehari-hari dengan sebutan ruwah. Tradisi ruwah merupakan tradisi mendoakan para arwah leluhur masyarakat setempat dipulau bangka, Selain sedekah ruwah, ada beberapa ritual islami lain yang dilakukan masyarakat antara lain lempar ketupat dan mandi belimau, perayaan ruwah tradisi adat budaya bangka.
Pelaksanaan Acara sedekah ruwah dilakukan dibalai desa atau masjid dalam acara itu masyarakat memanjat doa kepada Allah SWT serta junjungan nabi Muhammad SAW, dalam perkumpulan sedekah ruwah dibalai desa masyarakat membawa makanan serta masakan atau istilah masyarakat mneyebutnya nganggung setelah membaca doa-doa barulah ketua pemimpin doa mempersilahkan memakan makanan serta masakan yang telah dihidangkan.

Kongian
Kongian, konyan (過年; guo nian) adalah sebutan lain untuk Tahun Baru Imlek dalam dialek Hakka (Khe). Sejarahnya Imlek dirayakan untuk merayakan datangnya musim semi. 
Namun pada saat musim semi itu konon datang binatang buas yang disebut nian (ngian, nyan) dari gunung atau laut untuk mengganggu manusia. Maka manusia mengenakan pakaian warna merah dan membuat kebisingan dengan menyalakan petasan untuk mengusir nian. Oleh karena itu Imlek disebut juga Kongian yang berarti "mengusir/melewati nian". Di Indonesia sebutan kongian lebih umum digunakan daripada kata Imlek atau Sin Cia di daerah-daerah yang berpopulasi warga suku Hakka yang signifikan. Nian dimanifestasikan dalam bentuk barongsai (samsi).

Sembahyang Rebut
Sembahyang Rebut (Chit Ngiat Pan) merupakan salah satu warisan budaya Tionghoa yang jatuh pada bulan 7 tgl 15 kalender cina, Sembahyang Rebut masih dilakukan hingga kini. Adat kepercayaan warga Tionghoa mempercayai bahwa pada Chit Ngiat Pan pintu akherat terbuka lebar dimana arwah-arwah yang berada di dalamnya keluar dan bergentayangan. Arwah-arwah tersebut turun ke dunia ada yang pulang ke rumah keluarganya ada pula yang turun dengan keadaan terlantar dan tidak terawat, sehingga para manusia akan menyiapkan ritual khusus untuk diberikan kepada arwah yang terlantar tersebut. Selain itu juga disediakan rumah-rumahan yang terbuat dari kertas, uang dari kertas dan baju-baju dari kertas pula rumah-rumahan, uang dan baju-baju tersebut yang memang diperuntukkan bagi para arwah.
Ritual diadakan di kelenteng dimana puluhan umat memanjatkan panjatan doa keselamatan dan keberkahannya. Selain dikunjungi oleh warga Tionghoa yang memang ingin mengikuti ritual sembayang, juga datang warga lainnya yang memang sekedar ingin menyaksikan ritual yang dipenuhi dengan nuansa mistis ini. Inilah salah satu potret kerukunan umat beragama di Bangka Belitung. Sehari sebelum Sembahyang Rebut, yaitu pada tgl 14-7 Kalender cina, warga Tionghoa melakukan ibadah dirumah masing-masing untuk menghormati leluhur, Mereka mengirimkan dan memanjatkan doa kepada leluhur dan orang tua yg telah meninggal. Ini sebagai wujud bakti bahwa tak ada yang dapat memisahkan hubungan orang tua - anak - cucu dan generasi berikutnya. 
Kembali ke tanggal 15 bulan 7, pada ritual acara ini, disediakan berbagai jamuan sesaji yang tersusun rapi. Jamuan tersebut biasanya diletakkan diatas bangunan khusus yang terbuat dari kayu dan papan. Terkadang dibuat dalam 2 tingkat. Terdapat juga patung Dewa Akherat - Thai Se Ja yang dibuat dalam ukuran besar, serta beberapa patung kecil lainnya. Thai S e Ja dipercaya bertugas utk mencatat nama2 arwah yang akan berangkat beserta barang bawaan (sajian) yang dibawa. Dari sore hingga malam, warga datang untuk bersembahyang sembari menunggu ritual Chiong Si Ku (Perebutan).

Menjelang tengah malam, jamuan-jamuan yang dihidangkan sudah dirasa cukup dinikmati oleh para arwah, sehingga prosesi ritual dilanjutkan dengan upacara rebutan sesaji yang berada di atas altar persembahan. Ada kepercayaan bahwa para peserta yang ikut prosesi rebutan akan mendapatkan bala apabila tidak mendapatkan apa-apa. Acara puncak dilakukan dengan pembakaran patung Thai Se Ja (sosok raksasa yang sedang duduk dengan mata melotot). Acara puncak ini juga menandakan bahwa arwah-arwah telah dibawa kembali oleh Thai Se Ja kembali ke dunia akherat.Pada hakekatnya, ritual acara sembahyang rebut ini menurut adat kepercayaan warga Tionghoa bertujuan untuk saling membantu. 


Sembahyang Kubur
Upacara ritual ziarah kubur untuk menghormati para leluhur yang dilaksanakan di Perkuburan Kemujan Kota Sungailiat. Merupakan agenda tahunan Kalender Cina. Sembahyang Kubur adalah tradisi masyarakal keturunan Tionghoa di Belitung untuk bersembahyang di makam keluarga, pada musim sembanyang kubur ini biasanya banyak orang Tionghoa Belitung di perantauan yang pulang ke Belitung unluk melaksanakan tradisi ini.  

Kawin Masal
Membaca perkataan “Kawin Massal”, pastilah assosiasi kita akan tertuju kepada lebih dari satu pasang muda mudi yang sedang melakukan akad nikah didepan seorang penghulu. Sebenarnya bukanlah demikian makna yang terkandung didalam perkataan “Kawin Massal” tersebut, melainkan waktu mengadakan malam pesta dari perkawinan itulah yang dilaksanakan secara serempak pada hari dan malam yang telah dimufakati bersama. Bulan-bulan September dan Oktober dari setiap tahun merupakan bulan-bulan yang ramai dengan acara pesta Kawin Massal diseluruh desa-desa, hanya pelaksanaan dari pesta Kawin Massal itu tidak serempak (bersamaan) pada setiap desa. Ada pun penentuan hari dan tanggal tersebut adalah berdasarkan musyawarah antara kepala-kepala desa dan para orangtua dari masing-masing mempelai, agar hari dan tanggal waktu mengadakan pesta Kawin Massal itu tidak jatuh bersamaan.
Setiap Desa pada musim Kawin Massal saat ini, paling tidaknya akan mengadakan pesta kawin massal sebanyak 5(lima) pasang mempelai, bahkan ada Desa yang sampai menyelenggarakan 10(sepuluh) sampai 20(dua puluh) pasang, tergantung sedikit banyaknya muda-mudi yang Kawin yang mempunyai keinginan yang sama untuk merayakannya secara serempak.

Tradisi Kawin Massal saat ini sudah cukup memperhatinkan karena beberapa desa sudah jarang melaksanakannya dan baru-baru ini hanya tinggal satu Desa yang melaksanakan pesta Kawin Massal yaitu Desa Serdang. Dalam hal ini Pemerintah khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta  masyarakat harus tetap menjaga Tradisi Kawin Massal dalam upaya melestarikannya.
Tradisi Kawin Massal sebenarnya hanyalah dilaksanakan dengan acara-acara yang sederhana saja, seperti arak-arakan, berkhatam Al-Qur’an, bergantian membaca do’a selamat dirumah para mempelai dan paling banter memakai bunyi-bunyian berupa musik tiup (orang Jakarta menyebutnya dengan musik tanjidor) atau sejenisnya, yang mencarter grup-grup band dengan harga selangit itu, hanyalah acara tambahan diluar acara resmi atau aslinya yang tak lebih dari suatu pemborosan. Kalau memang hal itu tidak bisa ditinggalkan lagi, sepertinya akan lebih baik dan hemat jika mencarter satu grup band saja untuk semua pasang mempelai dan semua pasang mempelai dikumpulkan didalam satu bangsal yang besar, dan disediakan tempat-tempat duduk untuk para undangan dan pengunjung dan disediakan juga hidangan-hidangan sederhana. Hal tersebut dilakukan secara gotong royong antara orangtua mempelai, dengan cara itu tidak ada pemborosan uang yang berlebihan, cara inilah yang tepat disebut dengan pesta Kawin Massal.




Nganggung
Nganggung adalah tradisi yang sudah dipraktekkan turun-terumurun oleh masyarakat Bangka Belitung untuk merayakan hari-hari besar Islam. Uniknya tradisi ini juga tetap berhahan meskipun di daerah perkotaan. Sebenarnya dimasa lalu nganggung ini bukan hanya untuk perayaan hari besar Islam saja. Namun juga diadakan pada acara pernikahan, do’a selamatan untuk arwah yang sudah meninggal, hingga menyambut tamu kehormatan. Hanya saja yang tersisa sekarang adalah perayaan nganggung pada saat hari besar Islam saja.
Beramai-ramai Membawa Dulang ke Masjid
Pada perayaan nganggung, masyarakat akan berkumpul di masjid terdekat di rumah mereka sambil membawa berbagai hidangan makanan. Biasanya hidangan ini dibawa menggunakan dulang tradisional yang terbuat dari semacam daun pandan. Pada bagian luar dulang akan diberi cat. Dulang adalah bahasa Bangka Belitung untuk tudung saji. Dulang inilah yang dimaksud dengan slogan kabupaten Bangka: Kota Sepintu Sedulang. Apabila anda datang ke kampung-kampung pada saat perayaan, maka dulang ini masih digunakan. Namun untuk perayaan nganggung di perkotaan, biasanya diganti dengan nasi atau kue kotak yang dibawa dengan plastik besar. Mungkin warga yang tinggal di daerah perkotaan tidak terlalu peduli dengan detail tradisi atau mungkin juga dulang sulit dicari sehingga masyarakat perkotaan menggantinya dengan kantong plastik besar. Sebenarnya tidak terlalu masalah, hanya saja yang menjadi ciri khas nganggung adalah dulang ini.


Kain Tradisional

Kain Cual
Jika Palembang terkenal dengan kain songket, Bangka juga memiliki kain khas bernama kain cual. Kain yang menjadi kebanggaan masyarakat Bangka ini kini telah menjadi seragam di beberapa Sekolah Dasar dan kantor-kantor pemerintahan di daerah penghasil timah itu.
Asal muasal kain cual sendiri berasal dari kain songket Palembang. Awal mula perkembangan kain ini ada di Kota Muntok, Bangka, pada sekitar abad ke-17. Kain cual pertama kali diperkenalkan oleh kakek buyut pendiri toko Kain Cual Ishadi yang berada di Pangkal Pinang. Seiring berjalannya waktu, kain cual mulai dikenal masyarakat sebagai kain khas Provinsi Bangka Belitung.  
Kain cual memiliki beberapa motif, seperti motif kembang gajah, bunga cina, naga bertarung, dan burung hong. Beberapa motif kain cual ada yang dibuat dengan menggunakan benang sutra dan bahkan ada yang dibuat dengan benang emas 18 karat.
Harga jual kain cual sangat bervariasi. Mulai dari Rp50.000 hingga jutaan rupiah. Harga ini tergantung dari motif dan bahan kain. Jenis kain yang termahal adalah kain songket cual. Harga sehelai kain ini mencapai Rp15 juta.
Berkunjung ke provinsi ini, dapat ditemukan beberapa toko yang khusus menjual kain cual. Salah satunya adalah Toko Kain Cual Ishadi. Di toko yang terletak di Jalan Ahmad Yani No. 46, Pangkalpinang, Bangka, ini, pengunjung dapat melihat-lihat aneka jenis kain cual. Salah satu kain cual yang dipajang di sini konon sudah berusia ratusan tahun. Kain ini merupakan milik kakek buyut sang pemilik toko, yang juga memperkenalkan kain cual kepada masyarakat Bangka Belitung.

Alat Musik dan Tarian Tradisional

Dambus
Dambus Dari Pulau Bangka Belitung kusukeni.com, Aneka Kerajinan Khas Bangka Belitung, memperkenalkan Alat dan Musik Dambus. Dambus alat musik tradisional Pulau Bangka Belitung, dimainkan dengan  alat seperti: Dambus, Biola, Gong, Gendang Induk, Gendang Anak, Akordion, Tawak-Tawak, Bass Dambus, Rebana, Bedug, Tambourine. Musik Dambus Pulau Bangka memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berkunjung ke Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Tatkala menikmati bunyi alunan musik Dambus yang didendangkan oleh para seniman, tentu asyik untuk didengar dan dinikmati. Setiap lagu yang dinyanyikan selalu dalam bentuk syair pantun.

Gendang Melayu
Sejenis gendang 'dua muka' yang berukuran besar dan ditakrifkan sebagai Gendang Melayu. Ia mula berkembang di Negeri Kelantan dan digunakan sebagai alat genderang dalam paluan untuk mengiringi teater tradisional serta tarian klasik istana dan rakyat.






Rebana
Alat musik Rebana asal usulnya berasal dari Jazirah Arab seperti halnya Rebab. Alat musik Rebana sendiri biasanya digunakan dalam kesenian yang bernafaskan agama Islam seperti hadrah ataupun saat membaca shalawat burdah.

Tari Tanggai
Tari tanggai pada zaman dahulu merupakan tari persembahan terhadap dewa siwa dengan  membawa sesajian yang berisi buah dan beranekan ragam bunga,karena ini berfungsi sebagai tari persembahan pengantar sesajian maka tari tanggai pada zaman dahulu di katagorikan tarian yang sakral. Di sebut tari tanggai karena setiap penarinya menggunakan property tanggai di delapan jari (kecuali jempol).Tanggai tersebut dari perak ataupun kuningan yang di pakai pada ujung jari tangan.
Tari Tanggai sering dipergunakan dalam acara pernikahan masyarakat Sumatera Selatan, acara-acara resmi organisasi dan pergelaran seni di sekolah-sekolah. Sanggar-sanggar seni di kota Palembang banyak yang menyediakan jasa pergelaran tarian tanggai ini, lengkap dengan kemewahan pakaian adat Sumatera Selatan.


Tari Zapin
Zapin masuk ke nusantara sejalan dengan berkembangnya agama Islam  sejak abad ke 13 Masehi. Para pedagang dari Arab dan Gujarat yang datang bersama para ulama dan senimannya, menelusuri pesisir nusantara. Di antara mereka ada yang tinggal menetap di tempat yang diminati, dan ada pula yang kembali ke negeri mereka setelah perdagangan mereka usai. Bagi yang menetap kemudian menikahi penduduk setempat dan berketurunan hingga kini.
Zapin, salah satu dari kesenian yang dibawa para pendatang tersebut kemudian berkembang di kalangan masyarakat pemeluk agama Islam. Sekarang kita dapat menemukan zapin hampir di seluruh pesisir
nusantara, seperti: pesisir timur Sumatera Utara, Riau dan Kepulauannya, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung, Jakarta, pesisir utara-timur dan selatan Jawa, Nagara, Mataram, Sumbawa, Maumere, seluruh pesisir Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Ternate, dan Ambon. Sedangkan di negara tetangga terdapat di Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura.
Di nusantara, zapin dikenal dalam 2 jenis, yaitu zapin Arab  yang mengalami perubahan secara lamban, dan masih dipertahankan oleh masyarakat turunan Arab. Jenis kedua adalah zapin Melayu yang ditumbuhkan oleh para ahli lokal, dan disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya. Kalau zapin Arab hanya dikenal satu gaya saja, maka zapin Melayu sangat beragam dalam gayanya. Begitu pula sebutan untuk tari tersebut tergantung dari bahasa atau dialek lokal di mana dia tumbuh dan berkembang. Sebutan zapin umumnya dijumpai di Sumatera Utara dan Riau, sedangkan di Jambi, Sumatera Selatan dan Bengkulu menyebutnya dana. Julukan bedana terdapat di Lampung, sedangkan di Jawa umumnya menyebut zafin. Masyarakat Kalimantan cenderung memberi nama jepin, di Sulawesi disebut jippeng, dan di Maluku lebih akrab mengenal dengan nama jepen. Sementara di Nusatenggara dikenal
dengan julukan dana-dani.

Tari Campak
Tari Campak merupakan tarian dari daerah Bangka-Belitung yang menggambarkan keceriaan bujang dan dayang di Kepulauan Bangka Belitung. Tarian ini biasanya dibawakan setelah panen padi atau sepulang dari ume (kebun). Tarian ini berupa pantun bersambut yang biasanya didendangkan oleh sepasang penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, dengan irama yang khas. Mereka menari diiringi tabuhan gendang, biola dan gong yang ditabuh secara berkala. Para penari menggunakan selembar saputangan yang dikibas-kibaskan mengiringi lenggok gemulai sang penari. Pada saat tarian ini berlangsung biasanya penonton bebas memberi sawer kepada “nduk campak” sebutan bagi penari perempuan pada tarian ini. Sedangkan penari laki-laki disebut “penandak”.
Tari ini digunakan juga sebagai hiburan dalam berbagai kegiatan seperti penyambutan tamu atau pada pesta pernikahan di Bangka Belitung. Tarian ini berkembang pada masa pendudukan bangsa Portugis di Bangka Belitung. Hal ini bisa dilihat dari beberapa ragam pada tari Campak antara lain akordion dan pakaian pada penari perempuan yang sangat kental dengan gaya Eropa.
Budaya Eropa membawa pengaruh terhadap Tarian Campak ini dan dapat dilihat dari alat musik pengiringnya yaitu akordion. Pengaruh ini tampak juga pada busana modern Eropa yang dipakai penari perempuannya, seperti gaun panjang, topi, dan sepatu berhak tinggi. Sedangkan penari laki-laki mengenakan busana tradisional yakni kemeja, celana panjang, peci, dan selendang. Walaupun mendapat pengaruh dari budaya Eropa, tari campak Bangka Belitung tetap merupakan tari tradisional karena memiliki nilai-nilai budaya lokal yang dipertahankan. Tari campak biasanya dibawakan untuk merayakan waktu musim panen padi. Selain itu tari yang penuh keceriaan sering dibawakan para muda mudi sepulangnya dari ume atau kebun. Dalam perkembangannya Tari Campak juga dipertunjukan dalam pesta-pesta adat seperti penyambutan tamu dan pernikahan.
Pagelaran tari campak selalu meriah dan menarik hati. Para penari tidak hanya menari berpasang-pasangan mengikuti irama musik, mereka juga melantunkan pantun. Mereka saling berbalas pantun sampai akhirnya penari laki-laki merasa kalah. Uniknya, setelah kalah membalas pantun penari laki-laki harus memberikan uang kepada penari perempuan. Kemeriahan gerak tari dan lantunan pantun yang dibawakan oleh para penari tari campak diiringi oleh alat musik tradisional seperti gong dan gendang serta alat musik modern Eropa yaitu akordion dan biola.


Rudat
Rudat merupakan perpaduan Seni Tari dan Seni Suara. Tarian Rudat biasanya disajikan dalam acara Adat Lampung. Para penari menggunakan seragam / Pakaian Adat Lampung. Sambil menari, mereka melantunkan syair-syair, diiringi oleh tabuhan Rebana, yang disesuiakan dengan syairnya. Biasanya selain Rudat, dalam suatu rombongan arak-arakan, ada juga yang menyuguhkan Pencak Silat, dan Tuping.
Dalam Rudat dipilih Seseorang yang dipercaya sebagai ketua Rudat. tarian Rudat biasanya dibawakan dibeberapa desa di Lampung, tarian Rudat ini masih sering dan bisa kita nikmati bila ada acara Adat Pernikahan, Khitan dan Acara Adat Lainnya bahkan beberapa kali dipertunjukan pada saat acara nasional.

Tari Bahtera Bertiang Tujuh
Tarian "Bahtera Bertiang Tujuh" yang ditampilkan oleh Sanggar "Pesona Wangka" Sungai Liat Bangka itu settingnya dimulai sejak abad ke 12 saat kapal layar dengan tujuh tiang mengarungi Samudera.
Selanjutnya dikisahkan dalam tarian bagaimana Pulau Bangka yang kaya dengan timah mulai didatangi berbagai orang untuk ikut menikmati hasil timahnya. Masuknya penjajah, perlawanan dari rakyat Bangka, hingga jaman reformasi

Sekapur Sirih
Tari sekapur sirih adalah salah satu tarian selamat datang yang berasal dari Belitung. Dalam tarian ini, penari membawa sebuah wadah yang berisi sirih sebagai tanda kehormatan kepada para tamu penting yang datang di satu acara perhelatan besar yang sedang digelar masyarakat Belitung. 
Gerakan-gerakan lincah penari yang bergerak ke kanan dan kiri diiringi musik tradisional gambus khas Belitung membuat tarian ini begitu rancak. Gerakan penari seakan-akan memberikan isyarat selamat datang kepada para tamu.
Dalam salah satu gerakannya para penari ini menerbakan bunga-bunga sebagai tanda penolak bala. Selain itu, para penari juga mendekati para tamu kehormatan yang duduk di barisan terdepan dan memberikan sirih yang tersimpan dalam sebuah kotak sebagai tanda kehormatan dan persahabatan kepada para tamu yang datang.
Tari sekapur sirih biasa ditarikan 10 sampai 12 penari. Diantara para penari ini biasanya terdapat dua penari laki-laki yang berposisi di belakang. Tari sekapur sirih menjadi tarian yang ditampilkan dalam perhelatan besar di Belitung. Sebagai tarian selamat datang, biasanya tari sekapur sirih ini mendapatkan perhatian dan sambutan meriah dari para tamu undangan yang hadir.






You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook